Monday 5 April 2010

Mau Tahu Efek Buruk Jika Belt CVT Skutikmu Putus?




Dua puluh empat ribu kilometer, jadi patokan PT Astra Honda Motor (AHM) untuk ganti belt Honda Vario. Walau bukan harga mati, namun bila enggak diperhatikan bisa fatal akibatnya.

"Part itu dikhawatirkan bisa putus. Apalagi pemakaiannya sudah melebihi 30 ribu km," terang Syafrudin, kepala mekanik AHASS Clara Motor, di Kebon Jeruk, Jakbar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Hasan Basri dari bengkel motor umum Hasan Motor. Mekanik yang workshopnya di Kelapa Dua, Jakbar ini menambahkan, bila terjadi belt putus saat Vario dipacu pada kecepatan tinggi, bisa bikin driven pulley-nya bermasalah (gbr.1). "Kejadian ini menimpa salah satu konsumen saya yang kebetulan juga membesut Vario," ujarnya.

Langsung mengganti belt baru dan pasang, ternyata tidak memperkecil masalah yang terjadi pada puli sekunder. Malah kalau diteruskan, rentetan kerusakan akan semakin banyak. Mau tahu apa saja yang bisa rusak? Yuk, kita lihat di bagian driven pulley Vario.

Bunyi berisik akan jadi pertanda bagian ini bermasalah. Pasalnya dudukan movable driven face (MDF) sudah oblak (gbr.2). Dari masalah paling awal ini, merembet ke jalur pin yang ada di MDF (gbr.3). "Pergerakan MDF yang tidak stabil lagi, lama-lama akan membuat jalur tersebut melebar," kata Hasan yang juga bilang hal ini bisa juga terjadi pada semua skutik.

Langsung mengganti belt baru dan pasang, ternyata tidak memperkecil masalah yang terjadi pada puli sekunder. Malah kalau diteruskan, rentetan kerusakan akan semakin banyak. Mau tahu apa saja yang bisa rusak? Yuk, kita lihat di bagian driven pulley Vario.

Gbr 1

Gbr 2

Gbr 3

Gbr 4
Bunyi berisik akan jadi pertanda bagian ini bermasalah. Pasalnya dudukan movable driven face (MDF) sudah oblak (gbr.2). Dari masalah paling awal ini, merembet ke jalur pin yang ada di MDF (gbr.3). "Pergerakan MDF yang tidak stabil lagi, lama-lama akan membuat jalur tersebut melebar," kata Hasan yang juga bilang hal ini bisa juga terjadi pada semua skutik.

Pergerakan yang tidak lagi stabil di MDF ternyata juga berdampak pada kampas kopling sentrifugal (gbr.4). Bila enggak cepat-cepat diganti bagian yang rusak, maka umur kampas kopling jadi lebih pendek.

Nah bila memang hal-hal di atas sudah terjadi, mengganti dengan komponen baru jadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Dana lebih dari Rp 500 ribu mesti disiapkan.

Sebenarnya ada hal yang bisa meminimalkan kerusakan yang timbul, yakni dengan mengganti belt sesuai aturan. "Selain jarak pakai yang 24 ribu km, kondisi fisik karet belt yang sudah retak-retak saat ditekuk juga bisa jadi indikasi untuk mengganti part itu (gbr.5)," tutup Hasan.
Daftar belanja
Belt 120.000
driven face 155.000
Movable drive face 161.000
Slutch Shoes 100.000
Clutch outer 70.000
Total 606.000

Wajib Helm ber-SNI

 


01/03/2010
Terdapat data yang cukup mencengangkan terkait dengan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor. Data Global Road Safety Partnership (GRSP), lembaga internasional berbasis di Jenewa, menyebutkan 84 persen kecelakaan di jalan raya melibatkan sepeda motor, dan 90 persen korbannya menderita luka parah di kepala. Sedangkan berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan, pada tahun 2008 menyebutkan, dari 130.062 kendaraan yang terlibat dalam 56.584 kecelakaan lalu lintas yang terjadi, 95.209 di antaranya adalah sepeda motor (73 % dari total kendaraan yang terlibat).
statistik laka
Berikut adalah beberapa kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor :
news
newslaka
Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor dapat mengakibatkan pengendara dan atau penumpangnya mengalami luka parah, atau bahkan sampai meninggal dunia. Hal ini salah satunya disebabkan karena minimnya perlindungan pada pengendara sepeda motor. Bila dibandingkan dengan mobil, sepeda motor tidak memiliki instrumen peredam, sabuk keselamatan (safety belt) dan kantong udara (air bag) guna menahan benturan. Memang sepeda motor memiliki keunggulan ukuran yang lebih kecil dibandingkan mobil. Hal ini membuat pengendara menjadi mudah untuk melaju dan bergerak di keramaian lalu lintas. Namun, hal ini jugalah yang kemudian dapat membuat mereka mudah terlibat dalam kecelakaan dan biasanya pengendara sepeda motor mengalami luka serius.
Tingginya angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor ini, diiringi juga dengan fakta hasil penelitian di Indonesia, bahwa satu dari tiga orang yang kecelakaan sepeda motor mengalami cedera di kepala. Dampak lebih lanjut dari cedera di kepala dapat menyebabkan gangguan pada otak, pusat sistem syaraf, dan urat syaraf tulang belakang bagian atas. Gegar otak biasanya sulit untuk dipulihkan. Tentu saja hal ini dapat mengganggu ketentraman hidup yang bersangkutan dan keluarganya.
news6b
Guna melindungi pengendara sepeda motor, di Indonesia telah dibuat undang-undang tentang kewajiban memakai helm bagi pengendara sepeda motor. Undang-undang No. 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan pasal 106 ayat 8 mensyaratkan bagi semua pengendara sepeda motor dan penumpangnya untuk memakai helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. Pengendara dan atau penumpang yang tidak memakai helm dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan, atau denda sebesar Rp, 250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah ).
Ketentuan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia juga berlaku bagi setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah (pasal 106 ayat 7).
Untuk meminimalisir dampak kecelakaan sepeda motor (terutama pada bagian kepala), mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia saat berkendara merupakan hal yang wajib mendapat perhatian khusus.
Pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan helm atau hanya menggunakan helm plastik/topi proyek (tidak memiliki pelindung dalam), jika kecelakaan akan mempunyai peluang luka otak tiga kali lebih parah dibanding mereka yang memakai helm yang memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia).

Dasar pemberlakuan standar Wajib Helm ber-SNI
 
Permen Perindustrian RI No. 40/M-IND/PER/4/2009 tentang Perubahan Atas Permen Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib.
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010
Pasal 2
(1) Memberlakukan secara wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) atau revisinya terhadap Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua SNI 1811-2007 dengan pos tarif HS 6506.10.10.00.
(2) Pemberlakuan secara wajib SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi helm yang digunakan pengendara kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah (terbuka).
Peraturan ini mewajibkan PERUSAHAAN dan IMPORTIR yang memproduksi dan memperdagangkan HELM di dalam negeri untuk memenuhi persyaratan SNI.
Pasal 3
Perusahaan yang memproduksi Helm Pengendara Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib :
(1) menerapkan dan memiliki SPPT-SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
(2) membubuhkan tanda SNI Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua pada setiap produk sesuai ketentuan yang berlaku
Pasal 4
Setiap Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diperdagangkan di dalam negeri, yang berasal dari hasil produksi dalam negeri dan atau impor wajib memenuhi persyaratan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
 
Helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia berarti telah memenuhi persyaratan material dan konstruksi, serta telah lolos berbagai pengujian.

FT
Full Text SNI Helm

SNI 1811-2007 menetapkan spesifikasi teknis untuk helm pelindung yang digunakan oleh pengendara dan penumpang kendaraan bermotor roda dua, meliputi klasifikasi helm standar terbuka (open face) dan helm standar tertutup (full -face).

1. Material :

Bahan helm harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Dibuat dari bahan yang kuat dan bukan logam, tidak berubah jika ditempatkan di ruang terbuka pada suhu 0 derajat Celsius sampai 55 derajat Celsius selama paling sedikit 4 jam dan tidak terpengaruh oleh radiasi ultra violet, serta harus tahan dari akibat pengaruh bensin, minyak, sabun, air, deterjen dan pembersih lainnya

b. Bahan pelengkap helm harus tahan lapuk, tahan air dan tidak dapat terpengaruh oleh perubahan suhu

c. Bahan-bahan yang bersentuhan dengan tubuh tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat menyebabkan iritasi atau penyakit pada kulit, dan tidak mengurangi kekuatan terhadap benturan maupun perubahan fisik sebagai akibat dari bersentuhan langsung dengan keringat, minyak dan lemak si pemakai.

Disain Lapisan Luar & Dalam :
1. Lapisan luar yang keras (hard outer shell)
Di desain untuk dapat pecah jika mengalami benturan untuk mengurangi dampak tekanan sebelum sampai ke kepala. Lapisan ini biasanya terbuat dari bahan polycarbonate.
2. Lapisan dalam yang tebal (inside shell or liner)
Disebelah dalam lapisan luar adalah lapisan yang sama pentingnya untuk dampak pelapis penyangga. Biasanya dibuat dari bahan polyatyrene (Styrofoam). Lapisan tebal ini memberikan bantalan yangh berfungsi menahan goncangan sewaktu helm terbentur benda keras sementara kepala masih bergerak. Sewaktu ada tabrakan yang membenturkan bagian kepala dengan benda keras, lapisan keras luar dan lapisan dalam helm menyebarkan tekanan ke seluruh materi helm. Helm tersebut mencegah adanya benturan yang dapat mematahkan tengkorak.
3. Lapisan dalam yang lunak (comfort padding)
 
Merupakan bagian dalam yang terdiri dari bahan lunak dan kain untuk menempatkan kepala secara pas dan tepat pada rongga helm.
Helm full face merupakan helm yang memberi perlindungan lebih dan terasa nyaman saat memakainya. Ini merupakan jenis helm yang paling aman. Helm jenis ini tetap memberikan jaminan pendengara terhadap suara dari lingkungan sekitar, melindungi dari angin dan matahari. Helm full face melindungi mata dari debu, polusi, hujan, serangga dan batu kecil yang mungkin terpental dari kendaraan lain. Dari beberapa pengujian menunjukkan bahwa helm full face tidak mengganggu penglihatan dan pendengaran. Jadi tidak ada alasan anda tidak menggunakan helm.
 

2. Konstruksi

Konstruksi helm harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

desaind2

klik gambar untuk ukuran penuh

a. Helm harus terdiri dari tempurung keras dengan permukaan halus, lapisan peredam benturan dan tali pengikat ke dagu,

b. Tinggi helm sekurang-kurangnya 114 milimeter diukur dari puncak helm ke bidang utama yaitu bidang horizontal yang melalui lubang telinga dan bagian bawah dari dudukan bola mata,

c. Keliling lingkaran bagian dalam helm adalah sebagai berikut:

Ukuran
Keliling Lingkaran Bagian dalam (mm)
S
Antara 500 – kurang dari 540
M
Antara 540 – kurang dari 580
L
Antara 580 – kurang dari 620
XL
Lebih dari 620


d. Tempurung terbuat dari bahan yang keras, sama tebal dan homogen kemampuannya, tidak menyatu dengan pelindung muka dan mata serta tidak boleh mempunyai penguatan setempat

e. Peredam benturan terdiri dari lapisan peredam kejut yang dipasang pada permukaan bagian dalam tempurung dengan tebal sekurang-kurangnya 10 milimeter dan jaring helm atau konstruksi lain yang berfungsi seperti jaring helm.

f. Tali pengikat dagu lebarnya minimum 20 milimeter dan harus benar-benar berfungsi sebagai pengikat helm ketika dikenakan di kepala dan dilengkapi dengan penutup telinga dan tengkuk,

g. Tempurung tidak boleh ada tonjolan keluar yang tingginya melebihi 5 milimeter dari permukaan luar tempurung dan setiap tonjolan harus ditutupi dengan bahan lunak dan tidak boleh ada bagian tepi yang tajam,

h. Lebar sudut pandang sekeliling sekurang-kurangnya 105 derajat pada tiap sisi dan sudut pandang vertikal sekurang-kurangnya 30 derajat di atas dan 45 derajat di bawah bidang utama.

i. Helm harus dilengkapi dengan pelindung telinga, penutup leher, pet yang bisa dipindahkan, tameng atau tutup dagu.

j. Memiliki daerah pelindung helm

k. Helm tidak boleh mempengaruhi fungsi aura dari pengguna terhadap suatu bahaya. Lubang ventilasi dipasang pada tempurung sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan temperatur pada ruang antara kepala dan tempurung.

l. Setiap penonjolan ujung dari paku/keling harus berupa lengkungan dan tidak boleh menonjol lebih dari 2 mm dari permukaan luar tempurung.

m. Helm harus dapat dipertahankan di atas kepala pengguna dengan kuat melalui atau menggunakan tali dengan cara mengaitkan di bawah dagu atau melewati tali pemegang di bawah dagu yang dihubungkan dengan tempurung.

testa

3. Pengujian helm mencakup :

  • 1.uji penyerapan kejut,
  • 2.uji penetrasi,
  • 3.uji efektifitas sistem penahan,
  • 4.uji kekuatan sistem penahan dengan tali pemegang,
  • 5.uji untuk pergeseran tali pemegang,
  • 6.uji ketahanan terhadap keausan dari tali pemegang,
  • 7.uji impak miring,
  • 8.uji pelindung dagu dan 9.uji sifat mudah terbakar.
test2test3















PROSES PERUMUSAN SNI Helm :
 
SNI1811-2007 ini merupakan revisi SNI No. 09-1811-1990, dengan mengadopsi dari standar internasional Rev. 1/add. 21/Rev.4 dari :
E/ECE/324 dan E/ECE/TRANS/505 Regulation No.22, uniform provision concerning the approval of protective helmets and visors for drivers and passangers of motor cycles and mopeds,
  • BS 6658:1985, Protective Helmet for Motorcyclists, dan
  • JIS T 8133:2000, Protective Helmet for Drivers and Passangers of Motor Cycle and Mopeds.

SNI ini dirumuskan oleh Panitia Teknis Kimia Hilir melalui proses/prosedur perumusan standar dan mencapai konsensus para anggota panitia teknis kimia hilir, konsumen, produsen dan lembaga pengujian dan juga instansi pemerintah terkait pada tanggal 7 Desember 2004 di Jakarta
.

NOTIFIKASI PERATURAN PEMERINTAH RI ke WTO :
Indonesia, melalui BSN selaku Notification Body, telah menotifikasikan Regulasi Pemberlakuan SNI Wajib bagi Pengendara kendaraan Bermotor Roda ke WTO.
Dunia internasional (per 23 Juli 2008), menyambut dengan baik penerapan SNI wajib ini dengan tidak ada penolakan atau keberatan dari seluruh anggota WTO yang berjumlah 153 negara.
 
Bila dunia internasional menerima ketentuan ini,
mengapa kita tidak ?
 
  CINTAILAH PRODUK DALAM NEGERI
&
JANGAN RAGU UNTUK MEMILIH DAN MENGGUNAKAN
HELM ber-SNI

Helm yang sesuai dengan SNI bila diikat dengan benar (sampai klik), akan melindungi kepala dengan baik. Apabila terjadi benturan dengan benda yang tidak bergerak, helm akan menghambat/meredam benturan yang tertuju ke tengkorak dan otak.
Helm yang baik adalah helm yang menutupi kepala secara penuh (full face) atau helm yang terbuka pada bagian muka hingga rahang (open face).
Tipe full face memberi perlindungan yang lebih baik dari angin, debu, air, batu dan serangga. Tipe ini juga memberi perlindungan lebih baik kepada rahang dan gigi.

  BERITA TERKAIT
 

 

MotoGP Basics


engines

There is plenty of technical language used to describe the engines which power the racing prototypes on which the riders participate in the MotoGP World Championship, but most of it is fairly easy to understand if taken piece by piece and explained simply, even if the machinery itself is technologically advanced and complex in structure.

DEFINITIONS

2-stroke and 4-stroke – 2-stroke engines were predominant in the World Championship until the switch to the 990cc 4-stroke class in 2002, reflecting production trends, as 2-stroke bikes became increasingly popular from the 1960s through to the 1990s.
If 2-stroke engines proved more powerful than 4-strokes with similar engine capacities and similar rev counts, 4-strokes engines are more energy efficient and greener. This is because 4-strokes have a dedicated lubrication system, while 2-stroke engines burn a mixture of oil and gas.
As most manufacturers shifted their production towards bigger 4-stroke powered machines, the move to a 4-stroke prototype formula only seemed natural.
The key difference between the two types of engine lies in the combustion process: the four ‘strokes’ refer to the intake, compression, combustion and exhaust movements which occur during two crankshaft rotations per working cycle.
The 2-stroke internal combustion engine differs from the 4-stroke engine in that it completes the same four processes in only two strokes of the piston.
Single cylinder, two cylinder, four cylinder and six cylinder engines – While technical rules restrict the 125cc World Championship to single cylinder engines and give the options of single or two cylinder engines for the 250cc manufacturers, MotoGP bikes can have from one cylinder to six cylinders or more.
According to the FIM rulebook, the number of cylinders from one to six, or more, dictate what the minimum accepted weight of the bike will be, as ballast may be added to achieve it. Due to unit cylinder performance and power-to-weight ratio, all the MotoGP manufacturers now use four cylinder engines.
However, those engines come in different forms, as some factories, such as Ducati, Honda and Suzuki currently opt for V4 architecture, while Yamaha and Kawasaki have developed ‘inline four’ engines.
With V4’s the HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Cylinder_%28engine%29" \o "Cylinder (engine)" cylinders and HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Piston" \o "Piston" pistons are aligned separately to each other, so that they take on a ‘V-shape’ from an angle looking along the HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Crankshaft" \o "Crankshaft" crankshaft axis. This configuration decreases the total height, length and weight of the engine, in comparison with HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Straight_engine" \o "Straight engine" inline equivalents.
The choice of engine architecture has as much to do with design philosophy and the manufacturer’s heritage as with weight transfer and goals in terms of bike ‘rideability’.
Meanwhile, the terms 125cc, 250cc, 800cc (MotoGP) used to describe the three current categories in the World Championship simply refer to the ‘engine displacement’ or ‘cubic capacity’ of the respective machinery.

DEVELOPMENT THROUGH THE AGES

The biggest change in the premier class over the years has been the switch from 4-stroke, to 2-stroke engines, and back to 4-stroke in 2002, reflecting the need for technical progression and innovation in the sport - in keeping with the development of production bikes.
In the early days of the World Championship the premier class was dominated by 4-stroke machinery from mostly European manufacturers. The early 4-stroke engines were cumbersome, heavy, required a lot of maintenance and were never the most reliable of units.
Through the 1960s Japanese manufacturers such as Suzuki and Yamaha started to make their presence felt in the smaller cylinder classes with 2-stroke machinery. The lighter 2-stroke presented more possibilities for tuning and was seen as the future of the sport.
Although the 1970s and even 1980s saw a period of technical change that permitted even private ‘built in the garage’ motorcycles to go Grand Prix racing it was the might of the Japanese engineering and initiative that would soon provide the most competitive racing tools.

THE EMERGENCE OF 2-STROKE

As the Japanese slowly forged ahead with 2-stroke technology, the 4-strokes would fade out in a matter of seasons as the 500cc four cylinder 2-stroke became available on a production scale from Japan.
With the 2-strokes becoming more reliable and more powerful the engines actually threw more emphasis onto the rest of the motorcycle and evolution began at a rapid rate through the 1980s. Tyres, suspension, aerodynamics and even chassis design all saw a wealth of development.
In the early 1990s speeds had reached a peak in MotoGP. The 500cc bikes were harder and faster to ride than ever as an all-Japanese premier class sought to push the performances of the machines to the limit and new heights. By 1992 a breakthrough emerged when Honda started to experiment with a revised firing order on their all-conquering NS500.

BIG BANG & THE SCREAMER

Dubbed ‘Big Bang’ the revised crankshaft mechanism placed an emphasis more on acceleration than outright top speed and Mick Doohan went on to dominate the class on the new bike. Honda also produced a V-twin version of their four cylinder motorcycle which helped privateers remain competitive against the factory bikes and for the first time technical emphasis leaned more towards corner speed than outright horse-power; a trait that remains present to a certain degree in MotoGP today.
By the late 1990s Doohan had reverted back to the ‘harsher’ engine order in his quest for more speed. Nicknamed the ‘Screamer’, this and the ‘Big Bang’ version of the NS500 won World Championships from 1994 to 1999.
In 2000 Suzuki enjoyed a last hoorah on the RGV 500 2-stroke; a motorcycle which developed from predecessors that had originally dominated the class back in the late 1970s and early 80s.
4-STROKE 990cc
With 2-stroke technology reaching a plateau improved 4-stroke engines marked the way forward. The MotoGP landscape changed in 2002 and the last six seasons have again seen a massive acceleration in the technical possibilities with variable cylinder structures and quantities, telemetry, data collection and manually adjustable engine mapping switches now standard.
MotoGP is now a highly evolved and scientific competition with traction control and electronics playing an important role in the delivery of the power and adjusting the balance of the motorcycle to make the best use of the engine’s performance.
The MotoGP category saw the engine size reduced from 990cc to 800cc in 2007, with an aim to reduce speed. So far the speeds have remained the same but the size and dynamics of the new motors have placed more focus on the corner speed of the machinery, as opposed to the brute power of the 990s.

SMALLER CLASSES

The 125 and 250cc classes have remained hosts to 2-stroke engines, being the original homes of the 2-stoke. Firms such as Derbi, Kreidler and Bultaco were 50cc, 80cc and 125cc competitors with 2-strokes in the 1960s and 2-strokes littered the 350cc division.
Outside the premier class 2-strokes permitted the most cost-effective means of racing and being competitive. The 2-stroke prospered with carburetion, tuning and set-up becoming a specialised skill that saw a host of names in the Grand Prix paddock making their names through the late 1970s, 80s and into the 90s.
In modern times the accepted wisdom is that the limits of 2-stroke technology have been largely reached. Honda’s announcement that they will cease development on their quarter-litre bikes perhaps provides proof that there is no further ground for significant progress.

Pasang Cakram Depan Bajaj XCD 125, Rem Pakem Dan Spidometer Berfungsi Normal


Rem depan motor jenis sport model teromol? Jadul ah, la wong motor jenis bebek saja hampir semua sudah mengadopsi sistem pengereman model cakram. "Selain itu, model teromol pengereman juga kalah menggigit dari cakram," aku Rizki, pada Bajaj XCD 125 lansiran 2008.

Agar tak tampak jadul dan jadi lebih mantap, Rizki hunting bengkel yang bisa upgrade rem teromol tunggangannya jadi model cakram. Beberapa info yang didapat, merujuknya ke bengkel Midnight di Jl. Brigjen Katamso No.9A, Slipi, Jakpus.

Dengan budget Rp 800 ribu, Rizki mengutarakan niatnya kepada Iswanto. "Ganti sistem pengereman, namun fungsi spidometer mesti tetap seperti bawaan pabrik," pesan Rizki pada Iswanto, si empunya bengkel (Iswanto). Maklum, yang sudah-sudah, kalo upgrade rem cakram depan di motor itu, spido malah gak berfungsi.

Gbr 1

Gbr 2

Gbr 3

Gbr 4
Order dari konsumennya, oleh mekanik yang akrab di sapa Anto ini diawali dengan ganti tabung sok depan. Bawaan XCD dipensiunkan dan punya Yamaha RX-King yang kemudian dipasang (gbr.1). "Alasannya, diameter yang sama-sama 30 mm," terangnya.

Tak hanya tabung sok yang bawaan RX-King. Cakram, kaliper, slang, master rem dan handel juga comot dari motor 2-Tak tersebut. "Dengan budget Rp 800 ribu, semua part yang dipasang  non-orisinal, lo," ujar Anto.

Gbr 5
Urusan pasang cakram, pada pelek standar XCD mesti dibikinkan braket custom. Bahannya dari dudukan cakram belakang Honda Supra X 125 (gbr.2).
"Biar pegangan disk brake makin kuat dan tak mudah goyang, bagian dalam teromol ditambah adaptor custom (gbr.3). Lalu dilubangi 4 titik, buat jalur mur baut pengikat antara cakram dan adaptor," urai bapak 1 anak ini.

Sesuai pesanan, spidometer mesti tetap berfungsi normal. Untuk itu, rumah kampas rem orisinal tetap dipakai.
"Itu karena sensor spidometer terletak pada bagian itu (gbr.4). Pemasangan ini ada penyesuaian, yakni perlu memapas kedua pegangan kampas rem (gbr.5)," tegas pria yang hanya butuh 2 hari buat pengerjaan order itu.

Lantas, tinggal dicoba deh. Pasti tampang XCD enggak jadul lagi, plus rem lebih pakem dan spidometer berfungsi normal. Mantaf Cuy!