Tuesday 22 November 2011

Perangkat Penerbangan Hebat


Bagaimana seekor ganjurmampu mengepakkan sayapnya 1000 kali per detik? Bagaimana seekor kutu melompat sejauh ratusan kali ukuran tinggi tubuhnya? Mengapa seekor kupu-kupu terbang maju sementara sayapnya mengepak ke atas dan ke bawah?
Lalat adalah satu di antara hewan-hewan yang disebut di dalam Al Qur’an, sebagai satu saja dari banyak satwa yang mengungkap pengetahuan tak terbatas Tuhan kita. Allah Yang Mahakuasa berfirman tentang hal ini dalam ayat ke-73 surat Al Hajj:
Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah. (QS. Al Hajj, 22:73)
   
Otot-otot penerbangan dari banyak serangga seperti capung mengerut sangat kuat akibat rangsangan yang ditimbulkan oleh saraf-saraf yang mengendalikan setiap gerakan mereka
Meskipun telah dilakukan penelitian terkini, walaupun seluruh teknologi telah Allah berikan kepada manusia, amat banyak ciri makhluk hidup yang masih menyimpan sisi-sisi menakjubkannya. Sebagaimana pada segala sesuatu yang telah Allah ciptakan, dalam tubuh seekor lalat memperlihatkan bukti melimpah pengetahuan mahatinggi. Dengan mengkaji seluk beluknya, siapa pun yang berpikir akan mampu sekali lagi merenung di atas kekagumannya yang mendalam kepada Allah dan ketaatan kepadaNya.
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan para ilmuwan terhadap perangkat penerbangan lalat dan serangga-serangga kecil lainnya diuraikan di bawah ini. Kesimpulan yang muncul darinya adalah tiada kekuatan acak, coba-coba atau wujud selain Allah yang mampu menciptakan kerumitan seekor serangga sekalipun.
Otot terbang dari banyak serangga seperti belalang dan capung mengerut sangat kuat akibat rangsangan yang ditimbulkan saraf-saraf yang mengendalikan setiap gerakannya. Pada belalang, misalnya, sinyal-sinyal kiriman setiap saraf menyebabkan otot-otot terbang mengerut. Dengan bekerja bergantian, tidak saling berlawanan, dua kelompok otot yang saling melengkapi, yang dinamakan elevator (pengangkat) dan depresor (penurun), memungkinkan sayap-sayap terangkat dan mengepak ke bawah. Belalang mengepakkan sayapnya 12 hingga 15 kali per detik, dan agar dapat terbang serangga-serangga lebih kecil harus mengepakkan sayapnya lebih cepat lagi. Lebah madu, tawon dan lalat mengepakkan sayap 200 hingga 400 kali per detik, dan pada ganjur dan sejumlah serangga merugikan yang berukuran hanya 1 milimeter (0.03 inci), kecepatan ini meningkat ke angka mengejutkan 1000 kali per detik! Sayap-sayap yang mengepak terlalu cepat untuk dapat dilihat mata manusia telah diciptakan dengan rancangan khusus agar dapat melakukan kerja yang terus-menerus semacam ini.
Sebuah saraf mampu mengirim paling banyak 200 sinyal per detik. Lalu bagaimana seekor serangga kecil mampu mengepakkan sayapnya 1000 kali per detik? Penelitian telah membuktikan bahwa pada serangga-serangga ini, tidak terdapat hubungan satu-banding-satu antara sinyal dari saraf dan jumlah kepakan sayap per satuan waktu.
Pada perangkat istimewa ini, yang masing-masing diciptakan tersendiri pada tubuh setiap serangga, tak dijumpai ketidakteraturan sedikit pun. Saraf-sarafnya tidak pernah mengirim sinyal yang salah, dan otot-otot serangga senantiasa menerjemahkannya secara benar.
Pada jenis seperti lalat dan lebah, otot-otot yang memungkinkan terbang bahkan tidak menempel pada pangkal sayap! Sebaliknya, otot-otot ini melekat pada dada melalui pengait yang berperan seperti engsel, sedangkan otot-otot yang mengangkat sayap ke atas melekat pada permukaan atas dan bawah dada. Saat otot-otot ini mengerut, permukaan dada menjadi rata dan menarik pangkal sayap ke bawah. Permukaan samping sayap memberikan peran penyokong sehingga memungkinkan sayap-sayap terangkat. Otot-otot yang menimbulkan gerakan ke bawah tidak melekat langsung pada sayap, tapi bekerja di sepanjang dada. Ketika otot-otot ini mengerut, dada tertarik kembali ke arah berlawanan, dan dengan cara ini sayap tergerakkan ke bawah.
Engsel sayap tersusun atas protein khusus yang dikenal sebagai resilin, yang memiliki kelenturan luar biasa. Karena sifatnya jauh mengungguli karet alami ataupun buatan, para insinyur kimia berupaya membuat tiruan bahan ini, di laboratorium. Saat melentur dan mengerut, resilin mampu menyimpan hampir keseluruhan energi yang dikenakan padanya, dan ketika gaya yang menekannya dihilangkan, resilin mampu mengembalikan keseluruhan energi itu. Alhasil, daya guna (efisiensi) resilin dapat mencapai 96%. Saat sayap terangkat, sekitar 85% energi yang dikeluarkan disimpan untuk saat berikutnya; energi yang sama ini kemudian digunakan kembali dalam gerakan ke bawah yang memberikan daya angkat ke atas dan mendorong sang serangga ke depan. Permukaan dada dan ototnya telah diciptakan dengan rancangan istimewa untuk memungkinkan pengumpulan energi ini. Namun, energi tersebut sesungguhnya disimpan pada engsel yang terdiri atas resilin. Sudah pasti mustahil bagi seekor serangga, dengan usahanya sendiri, melengkapi diri sendiri dengan peralatan luar biasa untuk terbang. Kecerdasan dan kekuatan tak terhingga Allah telah menciptakan resilin istimewa ini pada tubuh serangga.

Lebah madu, tawon dan lalat mengepakkan sayap mereka 200 hingga 400 kali per detik.
Untuk penerbangan yang mulus, gerakan lurus ke atas dan ke bawah saja tidaklah cukup. Agar dapat memunculkan gaya angkat dan gaya dorong, sayap haruslah pula mengubah sudut gerakannya di setiap kepakan. Sayap-sayap serangga memiliki kelenturan berputar yang khas, tergantung jenisnya, yang dimungkinkan oleh apa yang disebut sebagai direct flight muscles (otot-terbang kemudi), disingkat DFM yang menghasilkan gaya-gaya yang diperlukan untuk terbang.
Ketika serangga berupaya naik lebih tinggi di udara, mereka memperbesar sudut sayap mereka dengan mengerutkan otot-otot di antara engsel-engsel sayap ini secara lebih kuat. Rekaman gambar berkecepatan-tinggi dan gerak-terhenti memperlihatkan bahwa selama terbang, sayap-sayap tersebut bergerak mengikuti lintasan lingkar-telur dan untuk setiap kali putaran sayap, sudutnya berubah secara teratur. Perubahan ini disebabkan pergerakan yang senantiasa berubah dari otot-terbang kemudi dan penempelan sayap pada tubuh.
Masalah terbesar yang dihadapi jenis serangga sangat mungil ketika terbang adalah hambatan udara. Bagi mereka, kerapatan udara sangat besar menjadi rintangan yang tidak bisa diremehkan. Selain itu, lapisan penghambat di sekeliling sayap menyebabkan udara melekat pada sayap dan mengurangi kedayagunaan (efisiensi) terbang. Agar dapat mengatasi hambatan udara ini, serangga-serangga seperti Forcipomya, yang lebar sayapnya tak lebih dari 1 milimeter, harus mengepakkan sayap 1000 kali per detik.
Para ilmuwan percaya bahwa secara teori, kecepatan ini pun tidaklah cukup menahan serangga-serangga ini tetap di udara, dan mereka pastilah menggunakan perangkat tambahan lainnya. Pada kenyataannya, Anarsia, sejenis serangga merugikan, menggunakan cara yang dikenal sebagai 'beat and shake' (mengepak dan menggoyang). Ketika sayap-sayapnya mencapai titik tertinggi dalam gerakannya ke atas, sayap-sayap ini saling mengepak dan kemudian membuka ke bawah kembali. Di saat sayap-sayap ini (dengan jaringan pembuluh darahnya) membuka, aliran udara depan membentuk pusaran mengitari sayap-sayap tersebut dan dengan kepakan sayap membantu daya angkat.
Banyak jenis serangga, termasuk belalang, memperhatikan apa yang ditangkap penglihatannya seperti garis kaki langit (horizon) untuk menentukan arah terbang dan tujuan akhirnya. Untuk mengokohkan keseimbangan kedudukannya, lalat telah diciptakan dengan rancangan yang lebih luar biasa lagi. Serangga-serangga ini memiliki hanya sepasang sayap, tapi di sisi belakang masing-masing sayap itu terdapat tonjolan melingkar yang dikenal sebagai halter (pengekang). Meskipun tidak menghasilkan gaya angkat, pengekang ini bergetar bersama sayap-sayap depan. Di saat serangga mengubah arah terbangnya, tonjolan sayap ini mencegahnya menyimpang dari jalur perjalanan.
Seluruh pengetahuan yang dipaparkan di sini dihasilkan dari penelitian terhadap kemahiran terbang tiga atau empat jenis serangga saja. Perlu diketahui bahwa keseluruhan jenis serangga di bumi berjumlah sekitar 10 juta. Dengan mempertimbangkan seluruh jutaan jenis selebihnya ini, beserta keistimewaan tak terhitung yang dimilikinya, seseorang pasti semakin bertambah kekagumannya akan kehebatan Allah yang tak terhingga.
Pemecahan Masalah bagi Gangguan Vena dari Gen Kutu
Para ilmuwan telah berhasil memisahkan gen resilin dari lalat buah dan berhasil membuat salinan protein ini secara alamiah dengan mencangkokkan gen tersebut ke dalam bakteri Escherichia coli.
Dalam penelitian yang dilakukan the Australian Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO), (Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri Persemakmuran Australia), para ilmuwan yang berhasil menemukan gen yang menghasilkan resilin serangga juga menemukan polimer hebat yang mungkin berguna dalam penanganan penyakit pembuluh darah vena. Pengkajian yang berawal di tahun 1960-an, yang dipusatkan pada belalang dan capung padang pasir, merupakan pendorong kuat yang memajukan tahap terpenting ini.
Resilin, yang juga memberikan kutu kemampuan untuk membuat lompatan luar biasa, melengkapi belalang dan capung padang pasir, serta serangga lain keahlian bergerak yang mengejutkan. Berkat zat ini, kutu mampu melompat beratus-ratus kali tinggi tubuhnya sendiri dan sejumlah lalat dapat mengepakkan sayapnya lebih dari 200 kali per detik.


Untuk penerbangan yang mulus, gerakan sayap lurus ke atas dan ke bawah tidaklah cukup. Sayap mesti pula mengubah sudut gerakannya di setiap kepakan. Sayap-sayap serangga memiliki kelenturan-berputar yang istimewa yang diberikan oleh otot-otot pengendali penerbangan.
Protein yang diperoleh dari resilin jauh lebih baik dari produk karet berkualitas tertinggi dalam hal kemampuannya menahan tekanan dan kembali ke bentuk asalnya. Penelitian yang berkelanjutan tentang resilin tiruan menunjukkan bahwa protein tersebut tetap memiliki sifat-sifat ini.
Para ilmuwan menyatakan keyakinannya bahwa polimer yang didapatkan dari pencangkokkan gen-gen serangga dapat diterapkan di aneka bidang yang sangat beragam, dari kedokteran hingga industri. Namun, mungkin yang terpenting dari penerapan ini adalah penanganan penyakit pembuluh darah arteri pada manusia. Oleh karena resilin menyerupai protein elastin pada pembuluh vena manusia, para ilmuwan berharap bahwa penelitian mereka akan memberi vena kelenturan yang terbaharui.
Profesor asal Inggris Roger Greenhalgh menyatakan bahwa “Penelitian [terhadap resilin] tampaknya berada pada tahap paling awal, tapi jika kita dapat mengambil sesuatu yang bagus dari kelenturan kutu tersebut yang bermanfaat bagi manusia, hal itu akan sangat berkesan“1 (Sumber : Harun Yahya)PERANGKAT PENERBANGAN HEBAT

Saturday 19 November 2011

Biofuel dari rumput laut

Biofuel Generasi Kedua, Dari Rumput dan Limbah

Kabarku. Pipa dan tangki stainless steel tersusun rapat dalam kolom setinggi 4lantai di sebuah pilot plant Pusat Penelitian Kimia, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Banten. Dalam struktur rumit itu, para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengubah kayu, jerami, dan rumput menjadi bahan bakar. "Pilot plant ini bagian dari tren baru dunia dalam menciptakan bioenergi dari bahan nonpangan, menghasilkan pengganti bensin generasi kedua," ujar peneliti bioetanol dari Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Yanni Sudiyani, kepada Tempo pekan lalu.

Berbeda dengan bioetanol generasi pertama yang dihasilkan dari pati, misalnya dari tanaman singkong, tebu, atau jagung, yang teknologi prosesnya mudah. Bioetanol generasi kedua berasal dari biomassa limbah pertanian atau kehutanan. Biomassa bahan selulosa atau lignoselulosa memerlukan teknologi yang prosesnya sangat sulit karena perlu perlakuan awal atau pretreatment. Teknologi pengembangan bioetanol yang menjadi campuran bahan bakar premium generasi kedua untuk saat ini masih banyak kendala dan masih terbilang mahal. Pengembangan bioetanol dari tumbuhan ini dipicu oleh krisis energi dunia. Menipisnya cadangan minyak dunia menimbulkan kekhawatiran akan ketersediaan energi.
Data Dewan Energi Nasional (DEN) memperlihatkan selang waktu 2006 hingga 2030, permintaan energi dunia meningkat hingga 45 persen sehingga dibutuhkan sumber energi alternatif selain bahan bakar fosil. Peneliti kemudian melirik etanol sebagai bahan bakar alternatif. Etil alkohol bersifat tak berwarna, sedikit berbau, dan mudah terbakar. Pembakaran etanol menghasilkan uap air dan karbon dioksida dalam jumlah relatif lebih rendah dibanding bahan bakar fosil. Rendahnya emisi karbon etanol membuat bahan bakar ini sebagai alternatif tepat pengganti bahan bakar fosil yang dituding sebagai sumber terbesar gas rumah kaca.
Dalam satu dekade terakhir, Brasil menjadi negara paling gencar menggenjot penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif. Negara yang memproduksi seperempat suplai gula global ini menjadi contoh bagaimana bioetanol dari tebu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi manusia.

Sayangnya, energi alternatif ini terhambat masalah harga. Bahan baku pembuatan bioetanol umumnya berasal dari gandum, jagung, tebu, dan kentang yang menjadi sumber utama pangan dunia. Lonjakan harga komoditas ini membuat bioetanol tak ekonomis lagi. Lignoselulosa yang berasal dari limbah berbagai tanaman pangan, berupa kayu, jerami, dan rumput, dianggap sebagai alternatif bahan baku bioenergi yang paling potensial. Dalam beberapa tahun terakhir, LIPI meneliti pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku pembuatan etanol.

Limbah rumput dan jerami kering serta kayu umumnya mengandung biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada tumbuhan, kandungan lignoselulosa mencapai 90 persen total biomassa. Untuk memanfaatkan biomassa ini, para peneliti LIPI harus memisahkan lignin atau zat kayu yang merupakan zat pengikat senyawa lain pada tanaman. Kandungan lignin bisa mencapai 15-30 persen. Proses delignifikasi inilah yang membuat pengolahan lignoselulosa berbeda dengan bioenergi yang bersumber dari pangan.

Setelah lignin dipisahkan, selulosa dan hemiselulosa bisa difermentasi menjadi zat gula yang kemudian diubah menjadi etanol. "Ada perlakuan awal khusus untuk memisahkan lignin dari selulosa dan hemiselulosa agar menghasilkan glukosa," kata Yanni. Perlakuan awal dimulai dengan proses pencacahan bahan baku rumput, pelepah daun, dan jerami. Proses fisik ini dilakukan berulang-ulang sehingga bahan baku berubah menjadi bagian-bagian kecil.

Material yang telah halus tersebut diberi perlakuan kimia dengan asam atau basa. Bubur material dimasukkan ke dalam mesin hidrolisis agar lignin terpisah dari selulosa dan hemiselulosa. Pemisahan ini merupakan proses yang sulit mengingat struktur selulosa dan hemiselulosa terikat kuat dengan lignin.

Tahap berikutnya adalah hidrolisis enzimatis. Selulosa dan hemiselulosa dimasukkan ke dalam reaktor untuk mengambil sari patinya, gula-selulosa yang mengandung gula karbon 6 (C6) atau gula karbon 5 (C5), seperti xylose. Untuk memecah gula tersebut, diperlukan dua spesies bakteri berbeda, yaitu bakteri ragi (Sacharomyces cerevisae) untuk C5 dan bakteri coli, Pichia sp, untuk C6. Glukosa hasil fermentasi ini selanjutnya diubah menjadi etanol menggunakan proses yang sama dengan pengolahan bahan bakar nabati dari zat pati yang berasal dari bahan pangan.

Menurut Yanni, LIPI pernah menguji bahan baku tandan kosong kelapa sawit untuk menghasilkan etanol. Proses dalam skala laboratorium menunjukkan 1 ton limbah padat ini bisa menghasilkan 151 liter etanol. Bahan bakar dalam jumlah besar ini, kata dia, sangat potensial dikembangkan di Indonesia, mengingat negara ini menjadi salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tak hanya kelapa sawit, biomassa lignoselulosa lainnya juga bisa diperoleh dari tanaman-tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia.

Jerami sebagai limbah tanaman padi juga bisa diolah menjadi etanol. Demikian pula limbah kayu hutan, yang bisa diolah menjadi energi hijau.
"Perlakuan awal khusus ini membuat harga bioetanol generasi kedua relatif lebih mahal," kata Yanni. "Namun, ongkos ini bisa ditebus ketika bahan bakar fosil semakin langka."
Haznan Abimayu, peneliti Puslit Kimia LIPI, mengatakan aneka pilihan sumber bahan baku energi terbarukan belum termanfaatkan di Indonesia. Sebut saja sisa merang atau batang padi dan ampas tebu. Dua limbah industri pertanian ini mencapai 230 juta ton setiap tahunnya. Jumlah ini bisa dikonversikan menjadi 17,618 miliar liter bioetanol.
Potensi lain berasal dari tanaman aren. Haznan memperkirakan produksi aren di Indonesia bisa dikonversi menjadi 11,7 miliar liter bioetanol setiap tahun. Begitu pula tanaman singkong, yang bisa menghasilkan 180 liter bioetanol untuk setiap hektare lahan per tahun.
"Selain berpotensi besar, tanaman-tanaman tersebut tidak dikonsumsi manusia sehingga pengolahannya tak akan mengganggu stok dan harga pangan nasional," ujar Haznan.
Biofuel dari rumput laut (http://www.lipi.go.id/)