Bagaimana seekor
ganjurmampu mengepakkan sayapnya 1000 kali per detik? Bagaimana seekor kutu
melompat sejauh ratusan kali ukuran tinggi tubuhnya? Mengapa seekor kupu-kupu
terbang maju sementara sayapnya mengepak ke atas dan ke bawah?
Lalat adalah satu di
antara hewan-hewan yang disebut di dalam Al Qur’an, sebagai satu saja dari
banyak satwa yang mengungkap pengetahuan tak terbatas Tuhan kita. Allah Yang
Mahakuasa berfirman tentang hal ini dalam ayat ke-73 surat Al Hajj:
Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka
dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.
Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat
merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang
disembah. (QS. Al Hajj, 22:73)
Meskipun telah
dilakukan penelitian terkini, walaupun seluruh teknologi telah Allah berikan
kepada manusia, amat banyak ciri makhluk hidup yang masih menyimpan sisi-sisi
menakjubkannya. Sebagaimana pada segala sesuatu yang telah Allah ciptakan,
dalam tubuh seekor lalat memperlihatkan bukti melimpah pengetahuan
mahatinggi. Dengan mengkaji seluk beluknya, siapa pun yang berpikir akan
mampu sekali lagi merenung di atas kekagumannya yang mendalam kepada Allah
dan ketaatan kepadaNya.
Sejumlah penelitian
yang telah dilakukan para ilmuwan terhadap perangkat penerbangan lalat dan
serangga-serangga kecil lainnya diuraikan di bawah ini. Kesimpulan yang
muncul darinya adalah tiada kekuatan acak, coba-coba atau wujud selain Allah
yang mampu menciptakan kerumitan seekor serangga sekalipun.
Otot terbang dari
banyak serangga seperti belalang dan capung mengerut sangat kuat akibat
rangsangan yang ditimbulkan saraf-saraf yang mengendalikan setiap gerakannya.
Pada belalang, misalnya, sinyal-sinyal kiriman setiap saraf menyebabkan
otot-otot terbang mengerut. Dengan bekerja bergantian, tidak saling
berlawanan, dua kelompok otot yang saling melengkapi, yang dinamakan elevator
(pengangkat) dan depresor (penurun), memungkinkan sayap-sayap
terangkat dan mengepak ke bawah. Belalang mengepakkan sayapnya 12 hingga 15
kali per detik, dan agar dapat terbang serangga-serangga lebih kecil harus
mengepakkan sayapnya lebih cepat lagi. Lebah madu, tawon dan lalat
mengepakkan sayap 200 hingga 400 kali per detik, dan pada ganjur dan sejumlah
serangga merugikan yang berukuran hanya 1 milimeter (0.03 inci), kecepatan
ini meningkat ke angka mengejutkan 1000 kali per detik! Sayap-sayap yang
mengepak terlalu cepat untuk dapat dilihat mata manusia telah diciptakan
dengan rancangan khusus agar dapat melakukan kerja yang terus-menerus semacam
ini.
Sebuah saraf mampu
mengirim paling banyak 200 sinyal per detik. Lalu bagaimana seekor serangga
kecil mampu mengepakkan sayapnya 1000 kali per detik? Penelitian telah
membuktikan bahwa pada serangga-serangga ini, tidak terdapat hubungan
satu-banding-satu antara sinyal dari saraf dan jumlah kepakan sayap per
satuan waktu.
Pada perangkat
istimewa ini, yang masing-masing diciptakan tersendiri pada tubuh setiap
serangga, tak dijumpai ketidakteraturan sedikit pun. Saraf-sarafnya tidak
pernah mengirim sinyal yang salah, dan otot-otot serangga senantiasa
menerjemahkannya secara benar.
Pada jenis seperti
lalat dan lebah, otot-otot yang memungkinkan terbang bahkan tidak menempel
pada pangkal sayap! Sebaliknya, otot-otot ini melekat pada dada melalui
pengait yang berperan seperti engsel, sedangkan otot-otot yang mengangkat
sayap ke atas melekat pada permukaan atas dan bawah dada. Saat otot-otot ini
mengerut, permukaan dada menjadi rata dan menarik pangkal sayap ke bawah. Permukaan
samping sayap memberikan peran penyokong sehingga memungkinkan sayap-sayap
terangkat. Otot-otot yang menimbulkan gerakan ke bawah tidak melekat langsung
pada sayap, tapi bekerja di sepanjang dada. Ketika otot-otot ini mengerut,
dada tertarik kembali ke arah berlawanan, dan dengan cara ini sayap
tergerakkan ke bawah.
Engsel sayap tersusun
atas protein khusus yang dikenal sebagai resilin, yang memiliki kelenturan
luar biasa. Karena sifatnya jauh mengungguli karet alami ataupun buatan, para
insinyur kimia berupaya membuat tiruan bahan ini, di laboratorium. Saat
melentur dan mengerut, resilin mampu menyimpan hampir keseluruhan energi yang
dikenakan padanya, dan ketika gaya yang menekannya dihilangkan, resilin mampu
mengembalikan keseluruhan energi itu. Alhasil, daya guna (efisiensi) resilin
dapat mencapai 96%. Saat sayap terangkat, sekitar 85% energi yang dikeluarkan
disimpan untuk saat berikutnya; energi yang sama ini kemudian digunakan
kembali dalam gerakan ke bawah yang memberikan daya angkat ke atas dan mendorong
sang serangga ke depan. Permukaan dada dan ototnya telah diciptakan dengan
rancangan istimewa untuk memungkinkan pengumpulan energi ini. Namun, energi
tersebut sesungguhnya disimpan pada engsel yang terdiri atas resilin. Sudah
pasti mustahil bagi seekor serangga, dengan usahanya sendiri, melengkapi diri
sendiri dengan peralatan luar biasa untuk terbang. Kecerdasan dan kekuatan
tak terhingga Allah telah menciptakan resilin istimewa ini pada tubuh
serangga.
Untuk penerbangan yang
mulus, gerakan lurus ke atas dan ke bawah saja tidaklah cukup. Agar dapat
memunculkan gaya angkat dan gaya dorong, sayap haruslah pula mengubah sudut
gerakannya di setiap kepakan. Sayap-sayap serangga memiliki kelenturan
berputar yang khas, tergantung jenisnya, yang dimungkinkan oleh apa yang disebut
sebagai direct flight muscles (otot-terbang kemudi), disingkat DFM
yang menghasilkan gaya-gaya yang diperlukan untuk terbang.
Ketika serangga
berupaya naik lebih tinggi di udara, mereka memperbesar sudut sayap mereka
dengan mengerutkan otot-otot di antara engsel-engsel sayap ini secara lebih
kuat. Rekaman gambar berkecepatan-tinggi dan gerak-terhenti memperlihatkan
bahwa selama terbang, sayap-sayap tersebut bergerak mengikuti lintasan
lingkar-telur dan untuk setiap kali putaran sayap, sudutnya berubah secara
teratur. Perubahan ini disebabkan pergerakan yang senantiasa berubah dari
otot-terbang kemudi dan penempelan sayap pada tubuh.
Masalah terbesar yang
dihadapi jenis serangga sangat mungil ketika terbang adalah hambatan udara.
Bagi mereka, kerapatan udara sangat besar menjadi rintangan yang tidak bisa
diremehkan. Selain itu, lapisan penghambat di sekeliling sayap menyebabkan
udara melekat pada sayap dan mengurangi kedayagunaan (efisiensi) terbang.
Agar dapat mengatasi hambatan udara ini, serangga-serangga seperti Forcipomya,
yang lebar sayapnya tak lebih dari 1 milimeter, harus mengepakkan sayap 1000
kali per detik.
Para ilmuwan percaya
bahwa secara teori, kecepatan ini pun tidaklah cukup menahan
serangga-serangga ini tetap di udara, dan mereka pastilah menggunakan
perangkat tambahan lainnya. Pada kenyataannya, Anarsia, sejenis
serangga merugikan, menggunakan cara yang dikenal sebagai 'beat and shake'
(mengepak dan menggoyang). Ketika sayap-sayapnya mencapai titik tertinggi
dalam gerakannya ke atas, sayap-sayap ini saling mengepak dan kemudian
membuka ke bawah kembali. Di saat sayap-sayap ini (dengan jaringan pembuluh
darahnya) membuka, aliran udara depan membentuk pusaran mengitari sayap-sayap
tersebut dan dengan kepakan sayap membantu daya angkat.
Banyak jenis serangga,
termasuk belalang, memperhatikan apa yang ditangkap penglihatannya seperti
garis kaki langit (horizon) untuk menentukan arah terbang dan tujuan
akhirnya. Untuk mengokohkan keseimbangan kedudukannya, lalat telah diciptakan
dengan rancangan yang lebih luar biasa lagi. Serangga-serangga ini memiliki
hanya sepasang sayap, tapi di sisi belakang masing-masing sayap itu terdapat
tonjolan melingkar yang dikenal sebagai halter (pengekang). Meskipun
tidak menghasilkan gaya angkat, pengekang ini bergetar bersama sayap-sayap
depan. Di saat serangga mengubah arah terbangnya, tonjolan sayap ini
mencegahnya menyimpang dari jalur perjalanan.
Seluruh pengetahuan
yang dipaparkan di sini dihasilkan dari penelitian terhadap kemahiran terbang
tiga atau empat jenis serangga saja. Perlu diketahui bahwa keseluruhan jenis
serangga di bumi berjumlah sekitar 10 juta. Dengan mempertimbangkan seluruh
jutaan jenis selebihnya ini, beserta keistimewaan tak terhitung yang
dimilikinya, seseorang pasti semakin bertambah kekagumannya akan kehebatan
Allah yang tak terhingga.
Pemecahan Masalah bagi Gangguan Vena dari Gen Kutu
Para ilmuwan telah
berhasil memisahkan gen resilin dari lalat buah dan berhasil membuat salinan
protein ini secara alamiah dengan mencangkokkan gen tersebut ke dalam bakteri
Escherichia coli.
Dalam penelitian yang
dilakukan the Australian Commonwealth Scientific and Industrial Research
Organization (CSIRO), (Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri
Persemakmuran Australia), para ilmuwan yang berhasil menemukan gen yang
menghasilkan resilin serangga juga menemukan polimer hebat yang mungkin
berguna dalam penanganan penyakit pembuluh darah vena. Pengkajian yang
berawal di tahun 1960-an, yang dipusatkan pada belalang dan capung padang
pasir, merupakan pendorong kuat yang memajukan tahap terpenting ini.
Resilin, yang juga
memberikan kutu kemampuan untuk membuat lompatan luar biasa, melengkapi
belalang dan capung padang pasir, serta serangga lain keahlian bergerak yang
mengejutkan. Berkat zat ini, kutu mampu melompat beratus-ratus kali tinggi
tubuhnya sendiri dan sejumlah lalat dapat mengepakkan sayapnya lebih dari 200
kali per detik.
Protein yang diperoleh
dari resilin jauh lebih baik dari produk karet berkualitas tertinggi dalam
hal kemampuannya menahan tekanan dan kembali ke bentuk asalnya. Penelitian
yang berkelanjutan tentang resilin tiruan menunjukkan bahwa protein tersebut
tetap memiliki sifat-sifat ini.
Para ilmuwan
menyatakan keyakinannya bahwa polimer yang didapatkan dari pencangkokkan
gen-gen serangga dapat diterapkan di aneka bidang yang sangat beragam, dari
kedokteran hingga industri. Namun, mungkin yang terpenting dari penerapan ini
adalah penanganan penyakit pembuluh darah arteri pada manusia. Oleh karena
resilin menyerupai protein elastin pada pembuluh vena manusia, para ilmuwan
berharap bahwa penelitian mereka akan memberi vena kelenturan yang
terbaharui.
Profesor asal Inggris Roger Greenhalgh menyatakan bahwa
“Penelitian [terhadap resilin] tampaknya berada pada tahap paling awal, tapi
jika kita dapat mengambil sesuatu yang bagus dari kelenturan kutu tersebut
yang bermanfaat bagi manusia, hal itu akan sangat berkesan“1 (Sumber : Harun Yahya)PERANGKAT PENERBANGAN HEBAT
|
Tuesday 22 November 2011
Perangkat Penerbangan Hebat
Saturday 19 November 2011
Biofuel dari rumput laut
Biofuel Generasi Kedua, Dari Rumput dan Limbah
Kabarku. Pipa dan tangki stainless steel tersusun rapat dalam kolom setinggi 4lantai di sebuah pilot plant Pusat Penelitian Kimia, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Banten. Dalam struktur rumit itu, para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengubah kayu, jerami, dan rumput menjadi bahan bakar. "Pilot plant ini bagian dari tren baru dunia dalam menciptakan bioenergi dari bahan nonpangan, menghasilkan pengganti bensin generasi kedua," ujar peneliti bioetanol dari Pusat Penelitian Kimia, LIPI, Yanni Sudiyani, kepada Tempo pekan lalu.
Berbeda dengan bioetanol generasi pertama yang dihasilkan dari pati, misalnya dari tanaman singkong, tebu, atau jagung, yang teknologi prosesnya mudah. Bioetanol generasi kedua berasal dari biomassa limbah pertanian atau kehutanan. Biomassa bahan selulosa atau lignoselulosa memerlukan teknologi yang prosesnya sangat sulit karena perlu perlakuan awal atau pretreatment. Teknologi pengembangan bioetanol yang menjadi campuran bahan bakar premium generasi kedua untuk saat ini masih banyak kendala dan masih terbilang mahal. Pengembangan bioetanol dari tumbuhan ini dipicu oleh krisis energi dunia. Menipisnya cadangan minyak dunia menimbulkan kekhawatiran akan ketersediaan energi.
Berbeda dengan bioetanol generasi pertama yang dihasilkan dari pati, misalnya dari tanaman singkong, tebu, atau jagung, yang teknologi prosesnya mudah. Bioetanol generasi kedua berasal dari biomassa limbah pertanian atau kehutanan. Biomassa bahan selulosa atau lignoselulosa memerlukan teknologi yang prosesnya sangat sulit karena perlu perlakuan awal atau pretreatment. Teknologi pengembangan bioetanol yang menjadi campuran bahan bakar premium generasi kedua untuk saat ini masih banyak kendala dan masih terbilang mahal. Pengembangan bioetanol dari tumbuhan ini dipicu oleh krisis energi dunia. Menipisnya cadangan minyak dunia menimbulkan kekhawatiran akan ketersediaan energi.
Data Dewan Energi Nasional (DEN) memperlihatkan selang waktu 2006 hingga 2030, permintaan energi dunia meningkat hingga 45 persen sehingga dibutuhkan sumber energi alternatif selain bahan bakar fosil. Peneliti kemudian melirik etanol sebagai bahan bakar alternatif. Etil alkohol bersifat tak berwarna, sedikit berbau, dan mudah terbakar. Pembakaran etanol menghasilkan uap air dan karbon dioksida dalam jumlah relatif lebih rendah dibanding bahan bakar fosil. Rendahnya emisi karbon etanol membuat bahan bakar ini sebagai alternatif tepat pengganti bahan bakar fosil yang dituding sebagai sumber terbesar gas rumah kaca.
Dalam satu dekade terakhir, Brasil menjadi negara paling gencar menggenjot penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif. Negara yang memproduksi seperempat suplai gula global ini menjadi contoh bagaimana bioetanol dari tebu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi manusia.
Sayangnya, energi alternatif ini terhambat masalah harga. Bahan baku pembuatan bioetanol umumnya berasal dari gandum, jagung, tebu, dan kentang yang menjadi sumber utama pangan dunia. Lonjakan harga komoditas ini membuat bioetanol tak ekonomis lagi. Lignoselulosa yang berasal dari limbah berbagai tanaman pangan, berupa kayu, jerami, dan rumput, dianggap sebagai alternatif bahan baku bioenergi yang paling potensial. Dalam beberapa tahun terakhir, LIPI meneliti pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku pembuatan etanol.
Limbah rumput dan jerami kering serta kayu umumnya mengandung biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada tumbuhan, kandungan lignoselulosa mencapai 90 persen total biomassa. Untuk memanfaatkan biomassa ini, para peneliti LIPI harus memisahkan lignin atau zat kayu yang merupakan zat pengikat senyawa lain pada tanaman. Kandungan lignin bisa mencapai 15-30 persen. Proses delignifikasi inilah yang membuat pengolahan lignoselulosa berbeda dengan bioenergi yang bersumber dari pangan.
Setelah lignin dipisahkan, selulosa dan hemiselulosa bisa difermentasi menjadi zat gula yang kemudian diubah menjadi etanol. "Ada perlakuan awal khusus untuk memisahkan lignin dari selulosa dan hemiselulosa agar menghasilkan glukosa," kata Yanni. Perlakuan awal dimulai dengan proses pencacahan bahan baku rumput, pelepah daun, dan jerami. Proses fisik ini dilakukan berulang-ulang sehingga bahan baku berubah menjadi bagian-bagian kecil.
Material yang telah halus tersebut diberi perlakuan kimia dengan asam atau basa. Bubur material dimasukkan ke dalam mesin hidrolisis agar lignin terpisah dari selulosa dan hemiselulosa. Pemisahan ini merupakan proses yang sulit mengingat struktur selulosa dan hemiselulosa terikat kuat dengan lignin.
Tahap berikutnya adalah hidrolisis enzimatis. Selulosa dan hemiselulosa dimasukkan ke dalam reaktor untuk mengambil sari patinya, gula-selulosa yang mengandung gula karbon 6 (C6) atau gula karbon 5 (C5), seperti xylose. Untuk memecah gula tersebut, diperlukan dua spesies bakteri berbeda, yaitu bakteri ragi (Sacharomyces cerevisae) untuk C5 dan bakteri coli, Pichia sp, untuk C6. Glukosa hasil fermentasi ini selanjutnya diubah menjadi etanol menggunakan proses yang sama dengan pengolahan bahan bakar nabati dari zat pati yang berasal dari bahan pangan.
Menurut Yanni, LIPI pernah menguji bahan baku tandan kosong kelapa sawit untuk menghasilkan etanol. Proses dalam skala laboratorium menunjukkan 1 ton limbah padat ini bisa menghasilkan 151 liter etanol. Bahan bakar dalam jumlah besar ini, kata dia, sangat potensial dikembangkan di Indonesia, mengingat negara ini menjadi salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tak hanya kelapa sawit, biomassa lignoselulosa lainnya juga bisa diperoleh dari tanaman-tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia.
Jerami sebagai limbah tanaman padi juga bisa diolah menjadi etanol. Demikian pula limbah kayu hutan, yang bisa diolah menjadi energi hijau.
"Perlakuan awal khusus ini membuat harga bioetanol generasi kedua relatif lebih mahal," kata Yanni. "Namun, ongkos ini bisa ditebus ketika bahan bakar fosil semakin langka."
Haznan Abimayu, peneliti Puslit Kimia LIPI, mengatakan aneka pilihan sumber bahan baku energi terbarukan belum termanfaatkan di Indonesia. Sebut saja sisa merang atau batang padi dan ampas tebu. Dua limbah industri pertanian ini mencapai 230 juta ton setiap tahunnya. Jumlah ini bisa dikonversikan menjadi 17,618 miliar liter bioetanol.
Potensi lain berasal dari tanaman aren. Haznan memperkirakan produksi aren di Indonesia bisa dikonversi menjadi 11,7 miliar liter bioetanol setiap tahun. Begitu pula tanaman singkong, yang bisa menghasilkan 180 liter bioetanol untuk setiap hektare lahan per tahun.
"Selain berpotensi besar, tanaman-tanaman tersebut tidak dikonsumsi manusia sehingga pengolahannya tak akan mengganggu stok dan harga pangan nasional," ujar Haznan.
Sayangnya, energi alternatif ini terhambat masalah harga. Bahan baku pembuatan bioetanol umumnya berasal dari gandum, jagung, tebu, dan kentang yang menjadi sumber utama pangan dunia. Lonjakan harga komoditas ini membuat bioetanol tak ekonomis lagi. Lignoselulosa yang berasal dari limbah berbagai tanaman pangan, berupa kayu, jerami, dan rumput, dianggap sebagai alternatif bahan baku bioenergi yang paling potensial. Dalam beberapa tahun terakhir, LIPI meneliti pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku pembuatan etanol.
Limbah rumput dan jerami kering serta kayu umumnya mengandung biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada tumbuhan, kandungan lignoselulosa mencapai 90 persen total biomassa. Untuk memanfaatkan biomassa ini, para peneliti LIPI harus memisahkan lignin atau zat kayu yang merupakan zat pengikat senyawa lain pada tanaman. Kandungan lignin bisa mencapai 15-30 persen. Proses delignifikasi inilah yang membuat pengolahan lignoselulosa berbeda dengan bioenergi yang bersumber dari pangan.
Setelah lignin dipisahkan, selulosa dan hemiselulosa bisa difermentasi menjadi zat gula yang kemudian diubah menjadi etanol. "Ada perlakuan awal khusus untuk memisahkan lignin dari selulosa dan hemiselulosa agar menghasilkan glukosa," kata Yanni. Perlakuan awal dimulai dengan proses pencacahan bahan baku rumput, pelepah daun, dan jerami. Proses fisik ini dilakukan berulang-ulang sehingga bahan baku berubah menjadi bagian-bagian kecil.
Material yang telah halus tersebut diberi perlakuan kimia dengan asam atau basa. Bubur material dimasukkan ke dalam mesin hidrolisis agar lignin terpisah dari selulosa dan hemiselulosa. Pemisahan ini merupakan proses yang sulit mengingat struktur selulosa dan hemiselulosa terikat kuat dengan lignin.
Tahap berikutnya adalah hidrolisis enzimatis. Selulosa dan hemiselulosa dimasukkan ke dalam reaktor untuk mengambil sari patinya, gula-selulosa yang mengandung gula karbon 6 (C6) atau gula karbon 5 (C5), seperti xylose. Untuk memecah gula tersebut, diperlukan dua spesies bakteri berbeda, yaitu bakteri ragi (Sacharomyces cerevisae) untuk C5 dan bakteri coli, Pichia sp, untuk C6. Glukosa hasil fermentasi ini selanjutnya diubah menjadi etanol menggunakan proses yang sama dengan pengolahan bahan bakar nabati dari zat pati yang berasal dari bahan pangan.
Menurut Yanni, LIPI pernah menguji bahan baku tandan kosong kelapa sawit untuk menghasilkan etanol. Proses dalam skala laboratorium menunjukkan 1 ton limbah padat ini bisa menghasilkan 151 liter etanol. Bahan bakar dalam jumlah besar ini, kata dia, sangat potensial dikembangkan di Indonesia, mengingat negara ini menjadi salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tak hanya kelapa sawit, biomassa lignoselulosa lainnya juga bisa diperoleh dari tanaman-tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia.
Jerami sebagai limbah tanaman padi juga bisa diolah menjadi etanol. Demikian pula limbah kayu hutan, yang bisa diolah menjadi energi hijau.
"Perlakuan awal khusus ini membuat harga bioetanol generasi kedua relatif lebih mahal," kata Yanni. "Namun, ongkos ini bisa ditebus ketika bahan bakar fosil semakin langka."
Haznan Abimayu, peneliti Puslit Kimia LIPI, mengatakan aneka pilihan sumber bahan baku energi terbarukan belum termanfaatkan di Indonesia. Sebut saja sisa merang atau batang padi dan ampas tebu. Dua limbah industri pertanian ini mencapai 230 juta ton setiap tahunnya. Jumlah ini bisa dikonversikan menjadi 17,618 miliar liter bioetanol.
Potensi lain berasal dari tanaman aren. Haznan memperkirakan produksi aren di Indonesia bisa dikonversi menjadi 11,7 miliar liter bioetanol setiap tahun. Begitu pula tanaman singkong, yang bisa menghasilkan 180 liter bioetanol untuk setiap hektare lahan per tahun.
"Selain berpotensi besar, tanaman-tanaman tersebut tidak dikonsumsi manusia sehingga pengolahannya tak akan mengganggu stok dan harga pangan nasional," ujar Haznan.
Subscribe to:
Posts (Atom)